Desa Fiktif Tanggung Jawab Pusat atau Daerah ?

0
344

Maraknya kabar berita yang menyebutkan adanya anggaran desa fiktif memicu pertanyaan bagi masyarakat, bagaimana bisa terjadi pembentukan desa fiktif? Sedangkan dalam Undang- undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 8 disebutkan Pembentukan Desa Baru ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat desa, serta kemampuan dan potensi desa.
Pembentukan Desa baru tidak hanya serta merta cukup dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, melainkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembentukan Desa Baru. Hal ini sesuai dalam Pasal 8 Ayat (3) syarat yang harus dipenuhi dalam pembentukan desa baru, antara lain:

a. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
b. jumlah penduduk, yaitu:
1) wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga;
2) wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;
3) wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga;
4) wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;
5) wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;
6) wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;
7) wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;
8) wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan
9) wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.
c. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;
d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
e. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
f. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota;
g. sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan
h. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini pemerintah daerah kota/ kabupaten dalam pembentukan desa baru harus membuat Rancangan Peraturan Desa yang kemudian diajukan kepada Gubernur untuk disahkan.

Dana desa yang dialokasikan dari APBN yang diperuntukkan bagi desa, ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota yang penggunaannya untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Alokasi dana desa berasal dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten paling sedikit 10 % (sepuluh persen) setelah dikurangi oleh Dana Alokasi Khusus. Penggunaan dana desa diprioritaskan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan berskala lokal Desa bidang Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat.
Dana desa yang akan diajukan oleh pemerintah desa merupakan hasil keputusan musyawarah desa, dan hasil musyawarah desa harus menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa dan Anggaran Pendapatan Belanja Desa yang akan ditetapkan dalam Peraturan Desa.
Jika dana desa yang telah dianggarkan tersebut sudah masuk pada rekening kas desa, dan pada akhir tahun anggaran dana desa masih sisa lebih dari 30 % maka bupati/ walikota memberikan sanksi administratif berupa pemotongan penyaluran dana desa tahun anggaran berikutnya sebesar sisa dana desa tahun berjalan kepada desa yang bersangkutan.

Dana desa yang masih tersisa di rekening kas desa dapat dianggarkan kembali oleh bupati/ walikota dalam rancangan APBD tahun anggaran berikutnya, dan sisa dana desa dapat disalurkan terlebih dahulu sebelum penetapan peraturan daerah tentang perubahan APBD.


Begitu rumitnya prosedur perencanaan pengajuan dana desa mulai dari Pemerintah Kota/ Kabupaten hingga Pemerintah Provinsi sangat tidak mungkin jika timbul desa yang tidak terdaftar pada Kota/ Kabupaten bisa mengajukan dan menerima dana desa, sepanjang tidak ada itikad buruk yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat.

Adanya desa fiktif yang menerima anggaran dana desa merupakan cerminan lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, padahal sudah diatur jelas dalam regulasi bahwa Pemerintah harus melaksanakan fungsi pembinaan, monitoring, pengawasan dan evaluasi terhadap penggunaan dana desa, sejak proses perencaaan hingga pemanfaatan dana desa itu sendiri.
Lalu bagaimana bisa ada desa fiktif yang mendapatkan pencairan dana desa? Bagaimana peran Pemerintah Kota/ Kabupaten dalam proses perencanaan Dana Desa? Sudahkah selektifkah Pemerintah Pusat dalam pencairan alokasi dana desa? AN

Referensi :

  • Undang- undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
  • PP No. 8 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas PP No. 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang
    Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini