Dalam Pasal 184 KUHAP diatur mengenai jenis – jenis alat bukti yang sah dalam perkara pidana, yaitu Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa.
Seorang saksi disini memberikan keterangan di depan persidangan sesuai dengan apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami sendiri terkait suatu perkara pidana. Dalam memberikan keterangannya dibawah sumpah di depan persidangan, kepada saksi diwajibkan untuk memberikan keterangan yang sebenar – benarnya, karena dalam perkara pidana, alat bukti utama dalam pembuktian adalah keterangan saksi, makanya mengapa keterangan saksi dalam Pasal 184 KUHAP diletakkan pada nomor 1.
Namun dari beberapa kasus pidana, ditemukan banyak saksi yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah di depan persidangan. Keterangan palsu dibawah sumpah di depan persidangan tergolong ke dalam suatu tindak pidana apalagi sampai menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Keterangan palsu disini maksudnya keterangan yang tidak benar dan bertentangan dengan yang sebenarnya. Memberikan keterangan palsu dijerat dengan Pasal 242 ayat (1) atau (2) KUHP atau Pasal 291 UU 1/2023 atau Pasal 373 UU 1/2023. Keterangan palsu adalah delik formil artinya perumusan unsur – unsur pasalnya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Delik keterangan palsu tersebut dianggap telah selesai atau terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik tersebut.
Berdasarkan Pasal 174 KUHAP, apabila keterangan saksi di bawah sumpah dalam suatu persidangan, diduga / disangka sebagai suatu keterangan yang palsu, maka hakim ketua berdasarkan jabatannya memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. Selanjutnya, apabila saksi tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa (maupun penasihat hukumnya) dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan. Kemudian, panitera pengadilan akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang ditandatangani oleh hakim ketua dan panitera, dan selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum untuk dituntut dengan dakwaan keterangan palsu.
Di dalam praktiknya, hakim berhak menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Secara teknis, saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi berbohong, maka hakim ketua akan menangguhkan sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota. Jika musyawarah mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan. Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu. Tentunya dengan ketentuan, hakim sebelumnya harus memperingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya sanksi pidana.
Jadi, ketegasan hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari kebenaran materiil, khususnya dalam hal ini untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah. Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu, namun tetap diproses, maka mendasar pada asas presumption of innocence (praduga tak bersalah), soal bersalah atau tidak bersalahnya itu adalah bergantung dari proses pembuktian perkara di pengadilan. (SV, WND)