PANDANGAN HUKUM TERKAIT PENGAMBILAN PAKSA ANAK OLEH ORANG TUA

0
225

Adanya suatu perkawinan selain bertujuan untuk ibadah, juga bertujuan untuk memiliki keturunan. Bila Suami dan istri telah mempunyai anak maka mereka memiliki kewajiban untuk memelihara anaknya sampai anak tersebut mencapai usia dewasa. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa orang tua meskipun telah bercerai tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut merupakan bentuk dari perlindungan anak sebagaimana termuat dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 2 , yaitu untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam pemeliharaan anak asas yang paling penting sebagaimana Undang – Undang Perlindungan Anak adalah kepentingan terbaik bagi anak.

Hak asuh anak setelah adanya perceraian di atur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan pemeliharaan anak yang belum berumur 12 tahun atau disebut belum mummayiz adalah hak ibunya. Jika anak sudah mencapai usia dewasa maka anak akan memillih untuk tinggal bersama ibu atau ayahnya dengan biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab ayah. Kerap kali persoalan timbul ketika orang tua yang bercerai mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dan kepentingan anak dan tidak ada yang mengalah. Langkah yang kemudian diambil yaitu melakukan pengajuan permohonan hak asuh anak di Pengadilan. Meskipun demikian terkadang muncul juga persoalan ketika orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh anak melakukan tindakan paksa untuk mengambil anaknya.

Nah, Apakah dibenarkan tindakan tersebut dilakukan mengingat yang mengambil anak adalah orang tuanya, dan mengingat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 330 diatur mengenai sanksi pidana tentang pengambilan hak asuh anak dari orang yang berhak. Berikut adalah bunyi Pasal 330 KUHP :

  1. Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
  2. Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Selanjutnya, dari bunyi Pasal 330 KUHP di atas, terdapat istilah “seorang yang belum cukup umur” dan “anak”. Lantas, usia berapa seseorang dikategorikan sebagai anak? Menurut UU 35 / 2014 Pasal 1 ayat 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Orang tua yang memperebutkan hak asuh anak justru telah melanggar hak – hak anak, serta berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yang mana seharusnya anak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak – haknya sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Terlebih lagi jika perebutan tersebut dilakukan dengan tindakan berlebih, seperti menculik, membawa paksa dengan kekerasan, menyekap, menarik – narik dan kekerasan fisik lainnya, maka hal tersebut melanggar ketentuan pasal 4, pasal 13, pasal 16 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Anak, yang pada intinya menyatakan setiap anak berhak untuk mendapatkan pengasuhan orang tuanya, berhak untuk mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, penganiayaan, dan anak juga berhak untuk mendapatkan kebebasan.

Sehingga bagi para orang tua, hargailah hak anak, janganlah menggunakan kekerasan atau pemaksaan hanya karena keegoisan ingin memperoleh hak asuh anak tersebut, karena sejatinya tidak dikenal istilah mantan anak, orang tua berhak dan justru wajib merawat, memelihara, mendidik, dan mengasuh anak hingga si anak tumbuh dewasa. (SV, WND)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini