Ketika suatu putusan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap ( inkracht ), tentu pihak yang dimenangkan menginginkan objek yang disengketakan tersebut segera berpindah tangan kepadanya, dan hal tersebut bisa dilakukan melalui proses eksekusi. Jika pihak yang dikalahkan tidak bersedia untuk melaksanakan eksekusi secara sukarela, maka pihak yang menang berhak meminta pelaksanaan eksekusi secara paksa dengan mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri setempat. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 195 HIR, yang menyebutkan bahwa :
“Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu.”
Meskipun pihak yang menang berhak untuk mengajukan eksekusi ke Pengadilan Negeri setempat atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht ), namun dalam pelaksanaannya tidak semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht ) dapat dijalankan eksekusi ( non-executable ).
Aturan terkait Putusan Eksekusi yang tidak dapat dijalankan ( non-executable ) tertuang secara tegas dan jelas dalam “Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia, Edisi 2013, Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan”. Buku Pedoman tersebut menjelaskan bahwa meskipun suatu putusan sudah ditetapkan dengan kekuatan hukum tetap oleh hakim dalam pengadilan, putusan tersebut tetap dapat dinyatakan Tidak Dapat Dijalankan ( non-executable ), dengan faktor sebagai berikut :
- Putusan yang bersifat deklaratoir (putusan hakim yang menegaskan suatu pernyataan yang dituangkan dalam putusannya) dan konstitutief (Putusan hakim yang meniadakan atau mengadakan suatu keadaan hukum baru);
- Barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan Tergugat/Termohon eksekusi;
- Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan Barang yang disebutkan di dalam amar putusan;
- Amar Putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan;
- Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat menyatakan suatu putusan non-executable, sebelum seluruh proses/acara eksekusi dilaksanakan, kecuali tersebut pada butir a. Penetapan non-executable harus berdasarkan Berita Acara yang dibuat oleh Juru Sita yang juga diperintahkan untuk melaksanakan (eksekusi) putusan tersebut
Selain berdasarkan Buku Pedoman diatas, M. Yahya Harahap pun, dalam bukunya yang berjudul “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata” mengungkapkan faktor yang menyebabkan eksekusi tidak dapat dijalankan ( non-executable ), diantaranya adalah :
- Harta Kekayaan Eksekusi Tidak Ada
- Putusan Bersifat Deklarator
- Barang Objek Eksekusi di Tangan Pihak Ketiga
- Eksekusi Terhadap Penyewa, Non Eksekutabel
- Tanah yang Hendak Dieksekusi Tidak Jelas Batasnya
- Perubahan Status Tanah Menjadi Milik Negara
- Barang Objek Eksekusi Berada di Luar Negeri
- Dua Putusan yang Saling Berbeda
- Eksekusi terhadap Harta Kekayaan Bersama Selama proses persidangan, baik dalam pemeriksaan
Melihat faktor – faktor diatas, alangkah baiknya sebelum permohonan eksekusi diajukan, harus dipastikan terlebih dahulu apakah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht ) tersebut dapat dijalankan atau tidak, tujuannya agar permohonan eksekusi yang kita ajukan tidak sia – sia atau mengalami penolakan dari Pengadilan Negeri setempat.( SV, IM )