Pergantian Kedudukan Ahli Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam

0
1055

Pergantian Kedudukan Ahli Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam Salah satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut (Gambar : yuridis.id) :

1. Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajad dengan yang diganti.

Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa.

Istilah ahli waris pengganti dalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling. Penggantian tempat dalam hukum waris disebut dengan penggantian ahli waris, yaitu meninggal dunianya seseorang dengan meninggalkan cucu yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orangtuanya yang telah meninggal untuk mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya.

Mewaris secara tidak langsung atau mewaris karena penggantian (plaatsvervulling) pada dasarnya menggantikan kedudukan ahli waris yang telah lebih dulu meninggal dari pewaris diatur dalam Pasal 841 s/d 848 KUH Perdata. Ahli waris pengganti dalam KUHPerdata menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak, artinya segala hak dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan dengan warisan beralih kepadanya.

Dalam KUHPerdata dikenal tiga macam penggantian (representatie) yaitu :

a) Penggantian dalam garis lurus ke bawah tiada batas.

b) Penggantian dalam garis ke samping.

c) Penggantian dalam garis ke samping menyimpang.

Sistem pengantian tempat dalam hukum islam dikenal dengan Munasakhah. Munasakhah menurut bahasa artinya menyalin dan menghilangkan. Munasakhah mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Harta pusaka si pewaris belum dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan pembagian harta pusaka.

2. Adanya kematian dari seseorang atau beberapa orang ahli warisnya.

3. Adanya pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya yang semula menjadi ahli waris terhadap orang yang pertama harus dengan jalan mempusakai. Kalau pemindahan bagian tersebut karena suatu pembelian atau penghibahan maupun hadiah, hal itu di luar pembahasan munasakhah.

4. Pemindahan bagian ahli waris yang telah meninggal kepada ahli warisnya.

Ada 4 keadaan yang menyebabkan munasakhah, yaitu :

1. Apabila pewaris meninggal kedua itu adalah mereka yang menjadi pewaris meninggal pertama.

2. Dalam keadaan ini masalahnya tidak berubah dan cara pewarisan mereka juga tidak berubah.

3. Bilamana para pewaris kedua adalah juga pewaris meninggal pertama disertai perbedaan nisbah mereka kepada si meninggal.

4. Bilamana para pewaris meninggal kedua lain dari pewaris meninggal pertama atau sebagian mereka mewarisi dari 2 jalur, yaitu dari jalur pewaris meninggal pertama dan dari jalur pewaris meninggal kedua.

Dalam proses melakukan munasakhah (sistem pergantian tempat) dan mengeluarkan “Al-Jaami’ah”, haruslah diambil langkah-langkah berikut :

a. Tashih masalah mayit pertama dan memberi setiap waris bagiannya termasuk mayit kedua.

b. Mengerjakan masalah baru yang khusus bagi mayit kedua, kemudain mentashihnya tanpa memandang masalah pertama.

c. Perbandingan antara bagian mayit kedua dari masalah pertama dan tashih masalah para pewarisnya dari masalah kedua.

d. Perbandingan antara keduanya terjadi dalam ketiga nisbah berikut. (Al-Mumaatsalah, Al-Muwaafaqoh, dan Al-Mubayyanah).

Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 185 ayat (1) disebutkan: “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173”. Dalam pembagiannya ahli waris pengganti, bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang diganti sebagaimana bunyi pasal 185 ayat (2) KHI : “Bagian Ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”. Jadi antara hukum waris Islam dengan Kompilasi Hukum Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang sistem pergantian tempat ini.

Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Hal ini dapat dipahami dari pasal 185 ayat (2) dengan mengungkapkan “tidak boleh melebihi‟. Yang secara tidak langsung telah memberi batasan bagian yang diterima.

Dalam membandingkan bagian pewaris dengan bagian kedua terdapat 3 macam perbandingan, yaitu :

1. Mumasalah Jika hasil perbandingan dalam tashih pertama dengan kedua itu mumasalah, tidak perlu adanya perkalian juzussaham dengan asal masalah semula. Hal ini karena tashih yang pertama di sini berstatus menempati asal masalah di tempat lain, dan tashih kedua di sini menempati status adadur ruus yang terbagi atasnya dan apa yang berada di tangan orang yang meninggal kedua berstatus menempati status mereka dari asal masalah.

2. Muwafaqah Jika perbandingan bagian dalam tashih pertama dengan tashih kedua itu muwafaqah maka waqfi (hasil bagi dari pembagi yang sama) tashih kedua hendaklah dilakukan dengan asal masalah yang pertama.

3. Mubayanah Jika hasil perbandingan bagian dalam tashih pertama dengan tashih kedua itu tabayun, seluruh tashih kedua dikalikan dengan seluruh tashih pertama. Namun, dalam hukum adat Aceh sebelum adanya kejadian tsunami tidak dikenal dengan pergantian kedudukan ahli waris, dalam sistem pewarisan Aceh dikenal dengan istilah Patah Titi atau Putoh Tutu maksudnya dalam hal ini ayah sebagai penghubung antara kakek dan cucu, dan jika ayah sudah meninggal, maka terputuslah hubungan pewarisan antara kakek dan cucu.

Namun, setelah terjadinya peristiwa tsunami Aceh, hukum kewarisan Aceh mengalami perubahan yaitu mulai berlakunya pergantian kedudukan dalam hukum waris, yakni cucu sebagai ahli waris dari kakek meskipun orang tuanya telah meninggal dunia. AN

Referensi :

  • Kompilasi Hukum Islam;
  • http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM, diakses pada tanggal 20 Juli 2019;

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini