Apa itu ne bis in idem ??? Asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalam Pasal 76 KUHP ayat 1 yang berbunyi :
“Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap”.
Secara umum, pengertian ne bis in idem adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas suatu perbuatan jika sudah ada putusan yang menghukum atau membebaskannya dan asas ini berlaku secara umum untuk semua ranah hukum, baik ranah hukum pidana maupun perdata.
Tujuan dari pemberlakuan asas ne bis in idem dimaksudkan untuk melindungi individu atau seseorang yang telah mendapatkan hukuman atas suatu kejahatan yang dilakukannya dari penghukuman yang lebih jauh dan menjadi sasaran penghukuman berulang – ulang atas suatu perbuatan yang sama tersebut.
Dalam perkembangan mengenai asas ini, Bapak Bagir Manan selaku Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menjabat saat itu, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara menghimbau kepada seluruh Ketua Pengadilan di Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menerapkan asas ne bis in idem dengan baik demi kepastian hukum bagi para pencari keadilan, agar tidak ada putusan yang saling tumpang tindih. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut diatur sebagai berikut :
“ Asas Ne bis in Idem adalah pengulangan perkara dengan objek dan subjek yang sama dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap, baik dalam tingkat judex factie sampai dengan tingkat kasasi, baik dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara ”.
Aturan mengenai penerapan asas ne bis in idem untuk perkara perdata dapat mengacu pada beberapa Yurisprudensi, yaitu :
- Putusan Mahkamah Agung RI 647/K/sip/1973 yang menerangkan sebagai berikut :
“ Ada atau tidaknya asas ne bis in idem tidak semata – mata ditentukan oleh para pihak saja, melainkan terutama bahwa obyek dari sengketa sudah diberi status tertentu oleh keputusan Pengadilan yang lebih dulu dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
- Putusan Pengadilan Negeri Bandung No. : 368/Pdt.G/1997/PN.Bdg tanggal 23 April 1998 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung No. : 382/Pdt/1998/PT.Bdg tanggal 2 November 1998 Jo. Putusan Mahkamah Agung No. : 1990 K/Pdt/2000 tanggal 23 Oktober 2002, yang secara kaidah hukumnya menerangkan sebagai berikut :
“ Kriteria Asas Ne bis in Idem adalah dua perkara gugatan perdata yang satu para pihaknya sama dan materi pokok gugatannya sama serta petitumnya sama, maka tidak berlaku asas Ne bis in Idem, bilamana perkara gugatan yang terdahulu, Hakim dalam mengadilinya tidak memutus materi pokok gugatan yang disengketakan dan amar putusannya berbunyi : “Gugatan Penggugat tidak dapat diterima”. Dengan amar ini, Penggugat berhak mengajukan kembali gugatannya dilain waktu ”.
- Putusan Mahkamah Agung RI No. 144 K/Sip/1971, tanggal 2 Juli 1971 yang menerangkan sebagai berikut :
“ Terhadap perkara perdata yang diajukan berbeda dalam waktu yang berbeda sekalipun subjek dan objeknya yang sama, yaitu perkara satu merupakan permohonan – declaratoir – voluntaire jurisdictie dan perkara lainnya bersifat gugatan – contentieus jurisdictie, dalam hal tersebut tidak ada ne bis in idem.”
Berdasarkan penjabaran tersebut di atas, maka untuk menilai suatu perkara terkualifikasi ne bis in idem, maka dilihat dari gugatan yang diajukan oleh penggugat. Ini sangat penting untuk menghindari perbedaan putusan hakim atau dualisme putusan hakim dalam suatu perkara yang sejenis, dan menjaga kepastian hukum bagi para pencari keadilan. (SV, WND)