Pluralitas yang ada di Indonesia dengan beragam adat dan kebiasan masyarakat merupakan suatu bentuk toleransi yang sudah dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Eksistensi adat dan kepercayaan yang berbeda- beda pada suku- suku bangsa yang lahir sebelum masuknya agama- agama pada saat penjajahan harusnya tetap diakui. Hak memeluk agama dan kepercayaan merupakan hak dasar yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia, hal ini tercantum dalam Pasal 28 E Ayat (2) dan Pasal 29 Undang- undang Dasar NKRI 1945 yang berbunyi
Pasal 28E
(2). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Bahwa, berdasarkan Pasal 28 E Ayat (2), Pasal 28 I Ayat (1) dan Pasal 29 UUD NKRI 1945 seharusnya negara mengakui terhadap agama yang dianut oleh Warga negaranya tidak terkecuali aliran kepercayaan bagi yang menganutnya. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 tanggal 07 November 2017, pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak dapat mengisi kolom agama sesuai dengan kepercayaan untuk ditulis, hanya bisa diberikan tanda setrip/ dikosongi. Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 tanggal 07 November 2017, kolom agama dapat diisi dengan kepercayaan yang dianut oleh seseorang. Jaminan pengakuan kepercayaan bagi penghayat kepercayaan seharusnya tetap diakui, hal ini termaktub dalam Sila Pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar yang mencerminkan toleransi terhadap kebebasan memeluk agama dan kepercayaan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 Tanggal 07 November 2017 menunjukkan suatu penghapusan dari diskriminasi yang dialami oleh penghayat kepercayaan, terutama dalam hal pencantuman agama/ kepercayaan pada kolom yang terdapat dalam Kartu Tanda Penduduk. Dengan diakuinya kepercayaan untuk dapat dicantumkan dalam kolom agama Pada Kartu Tanda Penduduk, setidaknya sudah tidak ada lagi keluhan bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan sikap diskriminasi baik dalam hal untuk mencari sekolah, mendapatkan pekerjaan, apalagi mendapat kesulitan dalam melakukan pengurusan Kartu Identitas, yangmana sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini demi mendapatkan pendidikan maupun pekerjaan mereka harus mengakui memeluk suatu agama yang bukan merupakan kepercayaan mereka.
Gambar : tirto.id
Sejumlah perlakuan diskriminasi yang dialami penghayat kepercayaan, antara lain :
- Sulit mendapatkan kartu identitas seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)
- Sulit mengakses hak atas jaminan sosial
- Sulit mendapatkan akta nikah dan akta kelahiran
- Sulit mendapatkan pekerjaan karena kolom agama dikosongkan
- Harus memilih satu agama diluar kepercayaan yang mereka anut, demi mendapatkan kartu identitas
- Penolakan pada saat pemakaman karena kolom agama dalam kartu identitas mereka kosong.
- Perkawinan antar pemeluk kepercayaan tidak diakui negara
Gambar : lfestyle.kompas.com
PENGESAHAN PERKAWINAN BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN BERDASARKAN PP NO. 40 TAHUN 2019 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
Pengakuan terhadap penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa semakin dirasa tidak ada lagi diskriminasi, hal ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2019 yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Berawal dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan untuk dapat mengisi kolom agama sesuai dengan kepercayaan yang dianut, yang terbaru dengan diterbitkannya PP No. 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang- undang Administrasi Kependudukan hal ini diatur pada Bab VI mengenai Tata Cara Pencatatan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam Pasal 39 dan 40 yang berbunyi
Pasal 39
(1) Perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(3) Organisasi dan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 40
(1) Pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/ Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah dilakukan perkawinan dihadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota memberikan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami istri;
b. Pasangan suami istri mengisi formulir pencatatan perkawinan dan menyerahkannya kepada pejabat Pencatatan Sipil dengan menunjukkan KTP-el untuk dilakukan pembacaan menggunakan perangkat pembaca KTP-el dan melampirkan dokumen:
1. surat perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan aslinya;
2. pas foto suami dan istri;
3. akta kelahiran; dan
4. dokumen perjalanan luar negeri suami dan/atau istri bagi orang asing.
c. Pejabat Pencatatan Sipil melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum dalam formulir pencatatan perkawinan dan dokumen yang dilampirkan;
d. berdasarkan kelengkapan dan kesesuaian data hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada huruf c, pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan; dan
e.kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf d diberikan masing-masing kepada suami dan istri. (AN)
Gambar : www.ngopibareng.id
Referensi :
- Undang- undang Dasar NKRI Tahun 1945
- Undang- undang No. 24 Tahun 2013 Jo. Undang- undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
- Peraturan pemerintah No. 40 Tahun 2019 Tentang Pelaksanaan Undang- undang Administrasi Kependudukan
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 Tanggal 07 November 2017
- https://lifestyle.kompas.com/read/2017/12/06/06050061/hapus-diskriminasi-penghayat-kepercayaan?page=all, diakses pada tanggal 24 Juli 2019