Perceraian bukan akhir dari segalanya, terutama bagi anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Tugas untuk memelihara dan mendidik anak tetap menjadi tugas dan tanggung jawab kedua orang tua meskipun kedua orang tuanya telah bercerai atau putus hubungan perkawinannya. Hal tersebut diatur dan tertuang secara jelas dan tegas dalam Pasal 45 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi :
- Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak mereka sebaik – baiknya.
- Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dan diatur juga dalam Pasal 26 Ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi :
“ Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
- mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
- menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
- memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak. ”
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur secara spesifik mengenai Hak Asuh Anak jika terjadi perceraian, yang mana jika anak masih belum mumayyiz atau baligh atau dewasa menurut hukum islam, maka hak asuhnya diberikan kepada ibunya, dan jika anak tersebut sudah mumayyiz atau baligh atau dewasa menurut hukum islam, maka ia dapat memilih ikut ayahnya atau ibunya. Kisaran usia mumayyiz atau baligh atau dewasa menurut hukum islam adalah 7 (tujuh) hingga 12 (dua belas) tahun. Aturan mengenai Hak Asuh Anak menurut Kompilasi Hukum Islam tersebut diatur dalam Pasal 156 huruf (a) dan (b) yang berbunyi :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :
- Wanita – wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
- Ayah;
- Wanita – wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
- Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
- Wanita – wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
Selain dalam Kompilasi Hukum Islam, juga terdapat Yurisprudensi yang mengatur secara spesifik terkait Hak Asuh Anak bagi anak – anak yang masih kecil, yaitu Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 102 K/Sip/1973, yang menerangkan didalamnya bahwa :
“ Mengenai pemeliharaan terhadap anak diutamakan ibu kandungnya terkhususnya bagi anak – anak yang masih kecil dikarenakan kriteria kepentingan anak menjadi hal yang utama, kecuali apabila terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memeliharanya ”
Namun ada beberapa aturan perundang – undangan yang mengatur terkait Pencabutan Hak Asuh Anak, yaitu :
- Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat pada Pasal 49 Ayat (1) yang berbunyi :
“ Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal ini :
- Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
- Ia berkelakuan buruk sekali ”
- Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat pada Pasal 156 huruf (c) yang berbunyi :
“ Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula ”
Dengan memahami aturan mengenai hak asuh anak yang dijelaskan di atas, kita dapat mengetahui bahwa dalam memutus dan menentukan terkait penjatuhan hak asuh anak, Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan mengenai hubungan biologis anak saja, tetapi juga melihat dan mempertimbangkan terkait aspek psikologis, emosional dan lingkungan tempat anak tersebut nantinya akan dirawat dan dibesarkan.
Majelis Hakim tentunya juga akan menilai berbagai faktor sebelum memutuskan kepada siapa hak asuh atas anak tersebut diberikan, adapun faktor yang dimaksud adalah :
- Kemampuan finansial orang tua
- Kondisi mental dan fisik orang tua
- Rekam jejak perilaku orang tua
- Hubungan emosional antara anak dan orang tua
Yang mana tujuannya untuk memastikan agar anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan bahagia.
Semoga informasi yang ada dalam artikel ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Untuk mendapatkan arahan dan pendapat hukum yang lebih spesifik, dapat dikonsultasikan secara langsung dengan konsultan hukum kami yang telah berpengalaman melalui web kami : https://ekobudiono.lawyer/ dengan klik layanan konsultasi hukum online. (WND)




