PENENTUAN PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

0
14

Saat ini marak sekali terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah, Pegawai BUMN, hingga Aparat Penegak Hukum. Tujuan dilakukannya korupsi tersebut oleh para pelaku mayoritas adalah semata – mata untuk memperkaya diri mereka sendiri, sehingga berdampak kerugian terhadap keuangan negara.

Untuk dapat mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut, dalam Undang – Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang – Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 18 Ayat (1), diatur mengenai Pidana Tambahan yang dapat dibebankan kepada Terdakwa yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, yaitu berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak – banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

 Pembebanan mengenai pidana tambahan berupa uang pengganti tersebut diatur secara spesifik dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 1 diterangkan bahwa :

Dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak – banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata – mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan

Pasal 4 juga menerangkan sebagai berikut :

  1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama – sama dan diadili secara berbarengan, pidana tambahan uang pengganti tidak dapat dijatuhkan secara tanggung renteng.
  2. Apabila harta benda yang diperoleh masing – masing terdakwa tidak diketahui secara pasti jumlahnya, uang pengganti dapat dijatuhkan secara proporsional dan objektif sesuai dengan peran masing – masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

Makna kata “ Proposional ” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 tersebut diatas sesuai dalam dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 adalah :

Proposional yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah mengacu kepada peran yang dilakukan oleh terdakwa, jika peran seorang terdakwa sanqat signifikan dalam pelaksanaan tindak pidana korupsi, maka pembebanan uang pengganti yang dijatuhkan akan semakin tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan objektif adalah hakim dalam menentukan besaran uang pengganti diharuskan dari fakta – fakta yang didapatkan dari pembuktian.

 Dengan demikian artinya penentuan uang pengganti bagi Terdakwa yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tidak mengacu pada besarnya kerugian keuangan negara, namun mengacu pada berapa besar uang yang telah dinikmati dari hasil tindak pidana korupsi tersebut. Dan jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan secara berjamaah, maka uang pengganti tidak dapat dibebankan secara tanggung renteng, melainkan uang pengganti dibebankan sesuai peran masing – masing Terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Point penting disini penentuan uang pengganti harus mendasar pada fakta yang terungkap dalam persidangan agar hukum dan kebenaran dapat ditegakkan dengan seadil – adilnya dan sebenar – benarnya.

Semoga informasi yang ada dalam artikel ini  berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Untuk mendapatkan arahan dan pendapat hukum yang lebih spesifik, dapat dikonsultasikan secara langsung dengan konsultan hukum kami yang telah berpengalaman melalui web kami : https://ekobudiono.lawyer/ dengan klik layanan konsultasi hukum online. (IM)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini