Surat pernyataan adalah surat yang berisi pernyataan akan kesanggupan, kesediaan, kesepakatan, dan lain – lain yang berkaitan dengan sesuatu hal tertentu. Biasanya Surat Pernyataan dibuat dengan sebenar – benarnya sesuai fakta dan peristiwa yang terjadi, serta dibuat tanpa adanya paksaan maupun ancaman dari pihak lain.
Dalam sengketa perdata pada saat pembuktian, tidak jarang para pihak mengajukan Surat Pernyataan sebagai bukti tulis mereka untuk membuktikan apa yang telah mereka dalilkan, baik dalam gugatan maupun pada saat jawab – jinawab.
Namun bagaimana dengan nilai pembuktian dari Surat pernyataan yang diajukan sebagai bukti menurut Hukum Acara Perdata ???
Sesuai Hukum Acara Perdata, untuk Surat Pernyataan yang dibuat secara tertulis dan diajukan dalam persidangan, memiliki nilai pembuktian yang sama dengan Akta Otentik, apabila isi dari Surat Pernyataan tersebut diakui kebenarannya oleh Pihak yang membuat. Namun apabila isi dari Surat Pernyataan tersebut tidak diakui oleh si pembuat, maka Surat Pernyataan tersebut tidak memiliki nilai pembuktian.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) No.
3901K/Pdt/1985 tanggal 29 November 1988, juga diatur sebagai berikut :
“Surat bukti yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa atau tidak dapat disamakan dengan kesaksian”
Kesimpulannya yaitu, apabila surat pernyataan tersebut akan dilampirkan sebagai alat bukti dalam persidangan, maka dipastikan terlebih dahulu apakah benar pernyataan tersebut dibuat oleh si pembuat. Sebagai tambahan informasi disini bahwa Surat Pernyataan saja tidak memiliki kekuatan pembuktian yang cukup sebagai alat bukti di persidangan, dan harus didukung dengan alat bukti lainnya, agar alat bukti surat pernyataan tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang cukup. (SV,IM)