Hak Asuh Anak Menurut Kacamata Hukum

0
93

Hak Asuh Anak muncul akibat dari adanya perceraian, karena selain berdampak pada putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri, perceraian juga berdampak terhadap hak asuh anak (apabila dalam perkawinan tersebut dikaruniai anak) dan pembagian harta bersama.

 

Dalam Undang – Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan dasar dari segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, perihal hak asuh anak tidak dijelaskan secara rinci kepada siapa hak asuh anak diberikan, karena secara kacamata hukum perceraian tidak menghilangkan kewajiban kedua orang tuanya dalam memelihara, mendidik, dan menafkahi anak tersebut hingga anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri. Hal tersebut tertuang secara tegas dalam Pasal 41 UU Perkawinan, yaitu :

 

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak – anaknya, semata – mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak – anak, Pengadilan memberi keputusan;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri”

Selain itu diatur juga dalam Pasal 45 UU Perkawinan terkait hak dan kewajiban orang tua meskipun telah terjadi perceraian, yaitu :

  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak – anak mereka sebaik-baiknya;
  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Namun, jika mengacu pada :

  • Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam untuk Warga Negara Indonesia yang beragama muslim, diatur bahwa untuk Hak Asuh Anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun diberikan kepada Ibunya, dan jika anak sudah mumayyiz atau sudah berumur diatas 12 tahun diserahkan kepada anak untuk memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang Hak Asuh.
  • Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003 untuk Warga Negara Indonesia yang beragama non muslim, Hak Asuh Anak diprioritaskan diberikan kepada Ibu Kandung jika anak masih belum dewasa, kecuali kalau terbukti ibu kandungnya tidak wajar untuk memelihara anak tersebut, maksud tidak wajar disini ialah :
  1. Ibu Kandung memiliki perilaku yang buruk;
  2. Ibu Kandung masuk dalam penjara;
  3. Ibu Kandung tidak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anaknya.

Jika terbukti demikian, maka Hak Asuh Anak oleh Pengadilan akan diberikan kepada Ayah Kandungnya.

Pada intinya secara kacamata hukum, dimanapun Hak Asuh Anak diberikan oleh Pengadilan, baik Ayah atau Ibu Kandungnya, tidak menghapuskan kewajiban orang tua untuk tetap memelihara, mendidik, dan menafkahi anak tersebut hingga anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri. (SV,IM)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini