MENGENAL SAKSI MAHKOTA

0
33

Selain Saksi Korban, Saksi Fakta dan Saksi Ahli, ada juga Saksi Mahkota yang dikenal dalam hukum acara pidana. Dalam artikel ini kita akan membahas mengenai apa itu Saksi Mahkota dan siapa yang bisa menjadi Saksi Mahkota tersebut.

Saksi Mahkota tidak dikenal dalam KUHAP, namun Saksi Mahkota dalam praktiknya digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai Alat Bukti dalam persidangan jika Alat Bukti yang dimilikinya dirasa masih sangat minim. Secara umum Saksi Mahkota adalah tersangka / terdakwa yang menjadi saksi bagi tersangka / terdakwa lainnya dalam perkara yang sama atau tindak pidana yang dilakukan secara berjamaah. Saksi Mahkota ini biasanya ada pada perkara dengan delik penyertaaan, serta berkas perkara dipisah / splitsing pemeriksaannya, sehingga masing – masing tersangka / terdakwa dapat saling memberikan kesaksian satu sama lain.

Terdapat Yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengatur tentang keberadaan Saksi Mahkota, yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia  No. : 1986 K/Pid/1989 tertanggal 21 Maret 1990, yang mana didalamnya dijelaskan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak melarang jika Jaksa Penuntut Umum mengajukan Saksi Mahkota, dengan syarat Saksi Mahkota yang dihadirkannya itu tidak menjadi satu berkas pemeriksaan dengan tersangka / terdakwa yang diberi kesaksian. Namun hingga saat ini keberadaan Saksi Mahkota masih diperdebatkan karena dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Selain dalam Yurisprudensi, penjelasan mengenai Saksi Mahkota juga tertuang dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung No. : B-69/E/02/1997 tahun 1997 tentang Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, yaitu :

Dalam KUHAP tidak terdapat istilah Saksi Mahkota, namun sejak sebelum berlakunya KUHAP, istilah Saksi Mahkota sudah dikenal dan lazim diajukan sebagai alat bukti, namun dalam Berita Acara Pemeriksaan istilah tersebut tidak pernah dicantumkan.

Dalam praktek, Saksi Mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim.

Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya, hanya berlaku untuk dirinya sendiri sesuai ketentuan Pasal 189 (3) KUHP, oleh karena itu dengan berpedoman pada Pasal 142 KUHP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya. Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini mengakui Saksi Mahkota sebagai alat bukti. Sebagai contoh, misalnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 2 Maret 1990, menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang – undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi di persidangan Pengadilan Negeri, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian (Gesplits).

Satu – satunya Putusan Pengadilan yang menolak Saksi Mahkota sebagai alat bukti adalah Putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan Marsinah, yang menyatakan “ Saksi Mahkota bertentangan dengan hukum” (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994, 381 K/Pid/1994, 1592 K/Pid/1994 dan 1706 K/Pid/1994).

Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hakim yang menjadikan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan terhadap Marsinah tersebut sebagai dasar putusannya, maka dalam menggunakan Saksi Mahkota, supaya sedapat mungkin diupayakan juga tambahan alat bukti lain.

 Semoga informasi yang ada dalam artikel ini  berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Untuk mendapatkan arahan dan pendapat hukum yang lebih spesifik, dapat dikonsultasikan secara langsung dengan konsultan hukum kami yang telah berpengalaman melalui web kami : https://ekobudiono.lawyer/ dengan klik layanan konsultasi hukum online. (IM)

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini