Belum tuntas pemeriksaan kasus suap terhadap 3 (tiga) Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memutus bebas kasus Tersangka Gregorius Ronald Tannur, muncul kasus suap baru yang dilakukan oleh 4 (empat) Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memutus bebas kasus 3 (tiga) korporasi besar dari kasus korupsi ekspor minyak kelapa mentah (CPO). Hal ini semakin mencoreng nama baik peradilan dan menambah daftar mafia peradilan di NKRI.
Meskipun pelaku tindak pidana suap tersebut adalah para penegak hukum, namun proses pemeriksaan untuk penegakan hukumnya tetap harus diterapkan sesuai aturan hukum yang ada, seperti halnya jika pelaku tindak pidana adalah warga sipil.
Terkait jerat pidana bagi pelaku tindak pidana suap PNS atau penyelenggara negara, serta penegak hukum, diatur dalam Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi :
“ Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah) :
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
- hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
- Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”
Begitupun bagi hakim yang melakukan tindak pidana suap, dijerat juga dengan Pasal 12 UU Tipikor dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah).
Penegak hukum yang melakukan tindak pidana karena jabatan yang dimilikinya, bukan berarti ia dapat terbebas dari jerat hukum, justru jerat hukum semakin mudah menjeratnya, ditambah lagi jerat sanksi disiplin akibat pelanggaran kode etik profesi yang dilakukannya, seperti pemberhentian kerja, penurunan pangkat, dan sanksi lainnya. Jadi berhati – hatilah wahai penegak hukum, sebelum penyesalan menghantuimu seumur hidup.
Semoga informasi yang ada dalam artikel ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Untuk mendapatkan arahan dan pendapat hukum yang lebih spesifik, dapat dikonsultasikan secara langsung dengan konsultan hukum kami yang telah berpengalaman melalui web kami : https://ekobudiono.lawyer/ dengan klik layanan konsultasi hukum online. (IM)