Dalam kehidupan bermasyarakat, kita sering mendengar penyebutan anak diluar perkawinan, dan tak jarang pula banyak kehadiran anak diluar perkawinan menjadi persoalan dan perbincangan khalayak masyarakat yang sangat sensitif oleh karena menyangkut status dari anak tersebut, dan hak-hak yang harus didapatkannya.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019, diatur sebagai berikut :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Dari uraian pasal tersebut anak yang lahir diluar perkawinan tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Hubungan nasab memiliki arti keturunan yang didapat dari pernikahan sah dan memiliki ikatan atau hubungan darah yang disebut keluarga, baik hubungan darah bersifat vertikal atau ke atas seperti ayah, ibu, kakek, nenek maupun yang bersifat horizontal dan menyamping seperti paman, bibi, saudara dan sebagainya.
Namun seiring berjalannya waktu terbit Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, yang berbunyi :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Dari terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi diatas, maka anak yang lahir diluar perkawinan selain memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dapat juga memiliki hubungan perdata dengan ayahnya jika dapat dibuktikan kebenarannya.
Lalu bagaimana dengan hak waris anak yang lahir diluar perkawinan?
Terkait dengan masalah pewarisan terhadap anak yang lahir diluar perkawinan diatur dalam Pasal 862 – Pasal 866 KUHPerdata, yaitu :
- Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah (Pasal 862 KUH Perdata);
- Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4 (Pasal 863 KUH Perdata);
- Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya baru dibagi-bagi antara para waris yang sah (Pasal 864 KUH Perdata);
- Jika yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka memperoleh seluruh warisan (Pasal 865 KUH Perdata);
- Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka ia dapat digantikan anak-anaknya (yang sah) (Pasal 866 KUH Perdata).
Dengan demikian, pewarisan hanya berlaku bagi anak yang dilahirkan diluar perkawinan dengan status yang telah diakui oleh ayah dan/atau ibunya. Tanpa adanya pengakuan, anak tersebut tidak akan memiliki hak waris. (SV,IM)