Adanya perselisihan atau sengketa perdata yang kerap terjadi, seperti sengketa kepemilikan tanah, waris, ataupun ingkar janji, dapat diselesaikan baik dengan upaya Litigasi maupun Non Litigasi. Untuk penyelesaian sengketa secara Litigasi dilakukan dengan cara mengajukan Gugatan ke Pengadilan setempat. Sebelum Gugatan diajukan dan didaftarkan ke Pengadilan, terlebih dahulu dibuatkan yang namanya Gugatan. Isi dalam Gugatan setidak – tidaknya memuat Identitas Para Pihak, Posita / Alasan – Alasan Gugatan, dan Petitum / Tuntutan. Lantas apa itu Posita dan Petitum ???, Dimana letak perbedaannya ???
Posita dan Petitum merupakan unsur penting yang harus ada dalam suatu Gugatan. Serta antara Posita dan Petitum haruslah dibuat dengan saling berkesinambungan, karena jika Posita dan Petitum tidak berkesinambungan atau tidak sesuai, maka Gugatan tersebut akan kabur dan berdampak dengan Tidak Diterimanya Gugatan (Niet Ontvankelijk Verklaard / NO).
Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai definisi dan perbedaan antara Posita dan Petitum :
Posita
Posita atau disebut juga dengan istilah Fundamentum Petendi merupakan uraian yang menggambarkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar dari suatu tuntutan, yang berisi fakta – fakta dan dasar hukum dalam suatu sengketa perdata. Dalam Posita tersebut diuraikan secara runtut dan jelas apa yang menjadi objek sengketa, bagaimana hubungan hukum antara para pihak, apa alas hak yang dijadikan sebagai dasar menggugat, serta berapa kerugian yang ditimbulkan. Apa yang didalilkan oleh Penggugat dalam Positanya tersebut harus dibuktikan oleh Penggugat didalam persidangan, hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata dan Pasal 163 HIR yang menegaskan bahwa setiap orang yang mendalilkan sesuatu hak, atau guna membuktikan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan untuk membuktikan hak atau peristiwa tersebut.
Posita yang disusun dalam suatu tuntutan hukum harus diikuti dengan adanya permintaan atas sesuatu yang biasa dikenal dengan istilah petitum.
Petitum
Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh Penggugat kepada Hakim untuk dikabulkan. Petitum tersebut akan dijawab oleh Hakim dalam bentuk Amar Putusan / Dictum. Dalam Petitum selain Tuntutan Utama, biasanya Penggugat juga menambahkan dengan Tuntutan Subsider atau Pengganti, seperti menuntut membayar denda, atau menuntut agar Putusan Hakim dapat dieksekusi meskipun ada perlawanan, banding, ataupun kasasi dikemudian hari (uitvoerbar bij voorrad). Dengan kata lain, petitum adalah kesimpulan dari suatu gugatan yang berisi hal – hal yang dimohonkan untuk diputuskan oleh Hakim.
Petitum haruslah disusun secara hati-hati dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga permintaan tersebut akan mendapatkan pertimbangan yang adil dan objektif dari pihak Pengadilan. Dalam petitum, pihak yang menggugat harus menyebutkan secara jelas apa yang mereka inginkan sebagai penyelesaian dari sengketa yang sedang berlangsung.
Dalam prakteknya di Pengadilan, agar kemungkinan besar sebuah Gugatan dikabulkan oleh Pengadilan, maka Petitum Pokok harus disertai dengan Tuntutan Pengganti. Isi dari Tuntutan Pengganti berbunyi “ex aequo et bono” atau “mohon putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan”. Tujuannya agar jika Petitum Pokok ditolak, masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan dari Hakim serta keadilan yang dalam putusan yang dijatuhkan oleh Hakim.
Hal – hal yang telah kami uraikan diatas sangat perlu untuk diperhatikan agar Gugatan dapat diterima dengan baik dan menghindari Gugatan Cacat Formil yang dapat membuat Putusan dinyatakan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) oleh Hakim. (SV, WND)