Maraknya fenomena donor ASI dari relawan yang mengalami surplus ASI untuk didonorkan kepada bayi yang sedang membutuhkan asi dengan ditampung pada lembaga yang biasa disebut dengan Bank ASI.
Dalam Muktamar NU ke – 25 di Surabaya, pernah disinggung mengenai permasalahan pengumpulan ASI, dan dapat diambil kesimpulan bahwa hal tersebut agar tidak dapat menjadikan haram dengan syarat- syarat :
- Perempuan yang diambil ASI itu masih dalam keadaan hidup
- Bayi yang diberi ASI itu belum mencapai umur 2 tahun
- Pengambilan dan pemberian ASI sekurang- kurangnya 5 kali
- ASI harus dari perempuan yang tertentu
- Semua syarat yang tersebut di atas harus benar- benar nyata.
Selain itu, terdapat pemahaman lain mengenai hal ini, bahwa setiap tahapan penyusuan tidak mensyaratkan banyak tetes atau hingga kenyang, setetes dalam satu tahapan sekalipun sudah dihitung sebagai satu kali tahapan penyusuan.
Syarat dan tahapan mendonorkan ASI :
- Secara fisik ibu harus sehat
- Bayinya sendiri diharapkan tidak kekurangan ASI
- Disarankan saat bayinya sendiri berusia di bawah 6 bulan, agar : komponen nutrisi yang diperlukan bayi masih cukup banyak, dan agar produksi ASI cukup
Tahapan Mendonorkan ASI :
- Calon pendonor datang ke Rumah Sakit dan ikut penyaringan donor yang dilakukan secara verbal.
- Calon pendonor menyerahkan hasil uji Laboratorium terhadap penyakit misalnya : HIV, Hepatitis B atau C, CMV, sifilis, dan COVID – 19
- Pendonor bisa mendonorkan ASI nya setelah dinyatakan sehat
- ASI donor disimpan di lemari pendingin dengan suhu -20º celcius minimal 24 jam
- ASI donor dipasteurisasi dengan cara Flash
- ASI donor dikultur
Lalu bagaimanakah hukum perkawinan Islam bagi anak- anak sepersusuan?
Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam mengharamkan pernikahan yang terjadi karena sepersusuan, dalam Undang- undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf d disebutkan perkawinan dilarang antara dua orang yang sehubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/ paman susuan. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur perkawinan yang dilarang, hal ini disebutkan dalam Pasal 39 ayat (3) karena pertalian susuan : dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah; dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; dan dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Untuk menghindari haramnya hukum perkawinan karena adanya persusuan, maka perlu adanya dokumentasi secara digital yang lengkap dan terstruktur dengan melakukan pencatatan dan pendataan mengenai identitas penerima dan pemberi donor asi, sehingga dapat diketahui apakah asupan ASI untuk bayi lewat Bank ASI memenuhi syarat keharaman atau tidak bagi penerima dan pemberi donor ASI, terutama hubungannya dengan perkawinan yang akan berlangsung. AN